Aku punya teman SMU dulu. Hubungan kami sangat baik, karena kami
sama-sama aktif di OSIS. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan ke
Australia, sedangkan aku, karena keadaan ekonomi yang pas-pasan, puas
menamatkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa
Tengah. Setelah lulus, aku bekerja di Jakarta. Entah suatu kebetulan
atau bukan, saat bekerja di salah satu perusahaan swasta, aku bertemu
kembali dengan Anna, yang bekerja di perusahaan rekanan perusahaan kami.
Kami bertemu waktu ada penandatanganan kerjasama antara perusahaannya
dengan perusahaan tempatku bekerja. Kami pun kembali akrab setelah tidak
bertemu sepuluh tahun. Ia masih tetap cantik seperti dulu. Dari
ceritanya, aku dapatkan informasi bahwa ia memperoleh master di bidang
marketing. Selain itu, sama sepertiku, ia telah tiga tahun menikah,
suaminya orang Jawa Timur, tetapi mereka belum dikaruniai anak;
sedangkan aku ketika itu masih lajang. Usai kerja, kami suka pulang
bareng, sebab rumahnya searah denganku. Kadang-kadang jika ia dijemput
suaminya, aku ikut numpang mobil mereka.
Aku tak pernah terpikir kalau temanku Anna memiliki suatu rahasia yang
suaminya sendiri pun tak pernah tahu. Suatu ketik – kuingat waktu itu
hari kamis – aku ikut pulang di mobil mereka, kudengar Anna berkata pada
suaminya,
“Pa, lusa aku ulang tahun yang ke-28, kan? Aku akan minta hadiah istimewa darimu. Boleh kan?”
Sambil menyetir, suaminya menjawab, “Ok, hadiah apa rupanya yang kau minta, sayang?”
“Hmmm, akan kusebutkan nanti malam waktu kita ….” sambil tersenyum dan mengerlingkan mata penuh arti.
Suaminya bergumam, “Beginilah istriku. Kalau ada maunya, harus dituruti.
Kalau tidak kesampaian, bisa pecah perang Irak.” Kemudian tak berapa
lama, ia melanjutkan, “Gimana Gus, waktu SMU dulu, apa gitu juga
gayanya?”
Kujawab, “Yah, begitulah dia. Waktu jadi aku ketua dan dia sekretaris
OSIS, dia terus yang berkuasa, walaupun program kerja aku yang nyusun.”
“Idiiiih, jahat lu Gus, buka kartu!” teriak Anna sambil mencubit lenganku pelan.
Suaminya dan aku tertawa. Sambil kuraba bekas cubitannya yang agak
pedas, tetapi memiliki nuansa romantis, kubayangkan betapa bahagianya
suaminya beristrikan Anna yang cantik, pintar dan pandai bergaul.
Aku kemudian turun di jalan depan kompleks perumahan mereka dan
melanjutkan naik angkot ke arah rumahku yang letaknya tinggal 3 km lagi.
Aku sudah lupa akan percakapan di mobil mereka itu, ketika malam minggu,
aku cuma duduk-duduk di rumah sambil menonton acara televisi yang tidak
menarik, tiba-tiba kudengar dering telepon.
“Gus, kau ada acara? Anna dan aku sedang merayakan ulang tahunnya.
Datanglah ke rumah kami. Dia sudah marah-marah, sebab baru tadi aku
bilang mau undang kau makan bersama kami. Ok, jangan lama-lama ya?”
suara Dicky, suami Anna terdengar.
“Wah, kebetulan Mas, aku sedang bete nich di rumah. Aku datang sekitar 20 menit lagi ya?” jawabku.
“Baiklah, kami tunggu,” katanya sambil meletakkan gagang telepon.
Aku bersiap-siap mengenakan baju hem yang agak pantas, kupikir tak enak
juga hanya pakai kaos. Sepeda motor kukeluarkan dan segera menuju rumah
Dicky dan Anna.
Setibanya di sana, kuketuk pintu. Anna membuka pintu. Kulihat gaunnya
begitu indah membalut tubuhnya. Potongan gaunnya di bagian dada agak
rendah, sehingga menampakkan belahan payudaranya yang sejak SMU dulu
kukagumi, sebab pernah kulihat keindahannya tanpa sengaja waktu ia
berganti baju saat olah raga dulu. Kusalami dia sambil berkata, “Selamat
ulang tahun, ya An! Panjang umur, murah rejeki, cepat dapat momongan,
rukun terus dalam rumah tangga”
Tanpa kuduga, tanganku disambut dengan hangatnya sambil diberikannya
pipinya mencium pipiku. Yang lebih tak terduga, pinggiran bibirnya –
entah disengaja atau tidak – menyentuh tepi bibirku juga. “Trims ya
Gus,” katanya. Aku masuk dan mendapati Dicky sedang duduk di ruang tamu
sambil menonton televisi.
Dicky dan Anna mengajakku makan malam bersama. Cukup mewah makan malam
tersebut, sebab kulihat makanan restoran yang dipesan mereka. Ditambah
makanan penutup berupa puding dan beragam buah-buahan membuatku amat
kenyang. Usai makan buah-buahan, Dicky ke ruang bar mini dekat kamar
tidur mereka dan mengambil sebotol champagne. “Wah, apa lagi nich?”
tanyaku dalam hati.
“Ayo Gus, kita bersulang demi Anna yang kita cintai,” kata suaminya,
sambil memberikan gelas kepadaku dan menuangkan minuman keras tersebut.
Kami bertiga minum sambil bercerita dan tertawa. Usai makan, kami berdua
kembali ke ruang tamu, sedangkan Anna membereskan meja makan.
Dicky dan aku asyik menonton acara televisi, ketika kulihat dengan ekor
mataku, Anna mendatangi kami berdua. “Mas, ganti acaranya dong, aku mau
nonton film aja! Bosen acara TV gitu-gitu terus,” rajuknya kepada
suaminya.
Dicky menuju bufet tempat kepingan audio video dan sambil berkata
padaku, ia mengganti acara televisi dengan film, “Nah, gitulah istriku
tersayang, Gus. Kalau lagi ada maunya, jangan sampai tidak dituruti.”
Kami tertawa sambil duduk bertiga. Aku agak kaget waktu menyaksikan,
ternyata film yang diputar Dicky adalah film dewasa alias blue film.
“Pernah nonton film begini, Gus? Jangan bohong, pria seperti kita jaman
SMP saja sudah baca Playboy dulu, bukan?”
“He .. he .. he .. nonton sich jangan ditanya lagi, Mas. Udah sering.
Prakteknya yang belum,” tukasku sambil meringis. Agak risih juga nonton
bertiga Anna dan suaminya, sebab biasanya aku nonton sendirian atau
bersama-sama teman pria.
“Anna kemarin minta kita nonton BF bertiga. Katanya demi persahabatan,” ujar suaminya.
“Ya Gus, bosen sich, cuma nonton berdua. Sekali-sekali variasi, boleh
kan?” kata Anna menyambung ucapan suaminya dan duduk semakin rapat ke
suaminya.
Kami bertiga nonton adegan film. Mula-mula seorang perempuan Asia main
dengan pria bule. Lalu pria Asia dengan seorang perempuan Amerika Latin
dan seorang perempuan bule. Wah, luar biasa, batinku sambil melirik Anna
yang mulai duduk gelisah. Kulihat suami Anna sesekali mencium bibir
Anna dan tangannya yang semula memeluk bahu Anna, mulai turun
meraba-raba tepi payudara Anna dari luar bajunya. Cerita ketiga semakin
panas, sebab pemainnya adalah seorang perempuan Asia yang cantik dan
bertubuh indah dan dua orang pria, yang satu Amerika Latin dan yang
satunya lagi bule. Si perempuan diciumi bibir lalu payudaranya oleh si
pria bule, sedang si pria Amerika Latin membuka perlahan-lahan rok dan
celana dalam si perempuan sambil menciumi lutut dan pahanya. Kedua pria
tersebut menelentangkan si perempuan di sofa, yang satu menciumi dan
meremas payudaranya, sedang yang lain menciumi celah-celah paha. Adegan
itu dilakukan secara bergantian dan akhirnya si pria bule menempatkan
penisnya ke klitoris si perempuan hingga si perempuan merintih-rintih.
Rintihannya makin menjadi-jadi sewaktu penis tersebut mulai memasuki
vaginanya; di bagian atas, payudaranya diremas dan diciumi serta disedot
si pria Amerika Latin. Si perempuan kemudian memegang pinggang si pria
Amerika Latin dan mencari penisnya untuk diciumi dan dimasukkan ke dalam
mulutnya. Si pria memberikan penisnya sambil terus meremas payudara si
perempuan. Begitulah, penis yang satu masuk keluar vaginanya, sedang
penis yang lain masuk keluar mulutnya.
Aku merasakan penisku menegang di balik celana dan sesekali kuperbaiki
dudukku sebab agak malu juga pada Anna yang melirik ke arah risleting
celanaku. Aku merasa horny, tetapi apa daya, aku hanya penonton,
sedangkan Anna dan Dicky, entah apa yang akan mereka lakukan
selanjutnya. Kukerling Dicky dan Anna yang sudah terpengaruh oleh film
tersebut. Gaun Anna semakin turun dan payudaranya sudah semakin tampak.
Benar-benar indah payudaranya, apalagi saat kulihat yang sebelah kiri
dengan putingnya yang hitam kecoklatan, sudah menyembul keluar akibat
jamahan tangan suaminya. Desahan Anna bercampur dengan suara si
perempuan Asia di film yang kami saksikan. Mereka berdua tampak tidak
peduli lagi dengan kehadiranku. Aku lama-lama segan juga, tetapi mau
pamit kayaknya tidak etis. Kuluman bibir Dicky semakin turun ke leher
Anna dan berlabuh di dada sebelah kiri. Bibirnya melumat puting sebelah
kiri sambil tangan kanannya meremas-remas payudara kanan Anna. Gaun Anna
hampir terbuka lebar di bagian dada.
Tiba-tiba Anna bangkit berdiri dan menuju dapur. Ia kemudian keluar dan
membawa nampan berisi tiga gelas red wine. Ia sodorkan kepada kami
berdua dan kembali ke dapur mengembalikan nampan.
Aku dan suaminya minum red wine ketika kurasakan dari arah belakangku
Anna menunduk dan mencium bibirku tiba-tiba, “Mmmmfff, ahhh, An,
jangan!” kataku sambil menolakkan wajahnya dengan memegang kedua
pipinya.
Anna justru semakin merapatkan wajah dan tubuhnya dari arah atas
tubuhku. Lidahnya masuk dengan lincahnya ke dalam mulutku sedangkan
bibirnya menutup rapat bibirku, payudaranya kurasakan menekan belakang
kepalaku. Aku masih mencoba melawan dan merasa malu diperlakukan
demikian di depan suaminya. Rasa segan bercampur nafsu yang menggelora
membuat wajahku semakin memanas, terlebih atas permainan bibir dan lidah
Anna serta payudara yang ditekankan semakin kuat.
Kudengar suara suaminya, “Tak usah malu, Gus. Nikmati saja. Ini bagian
dari permintaan spesial Anna kemarin. Kali ini ia tidak minta kado yang
lain, tapi kehadiranmu.”
Aku berhasil melepaskan diri dari serangan Anna dan sambil
terengah-engah kukatakan, “An, tolong … jangan perlakukan aku seperti
tadi. Aku malu. Dicky, aku minta maaf, aku mau pulang saja.” Aku
bergegas menuju pintu. Tapi tiba-tiba Anna menyusulku sambil memeluk
pinggangku dari belakang. Sambil menangis ia berkata, “Gus, maafkan aku.
Aku tidak mau kau pulang sekarang. Ayolah, kembali bersama kami.” Ia
menarik tanganku duduk kembali.
Aku terduduk sambil menatap lantai, tak berani melihat wajah mereka
berdua. Di seberangku, Dicky dan Anna duduk berjejer. Dicky berkata,
“Gus, tolonglah kami. Ini permintaan khusus Anna. Sebagai sahabat
lamanya, kuharap kau tidak keberatan. Sekali lagi aku minta maaf. Kami
sudah konsultasi dan berobat ke dokter agar Anna hamil. Ternyata bibitku
tidak mampu membuahinya. Padahal kami saling mencintai, aku amat
mencintainya, dia juga begitu terhadapku. Kami tidak mau cerai hanya
oleh karena aku tidak bisa menghamilinya. Kami tidak mau mengangkat
anak. Setelah kami bicara hati ke hati, kami sepakat meminta bantuanmu
agar ia dapat hamil. Kami mau agar anak yang ada di dalam rumah tangga
kami berasal dari rahimnya, walaupun bukan dari bibitku. Aku senang jika
kau mau menolong kami.”
Aku tidak menjawab. Kucoba menatap mereka bergantian.
Kemudian Anna menambahkan kalimat suaminya, “Aku tahu ini berat buatmu.
Jika aku bisa hamil olehmu, anak itu akan menjadi anak kami. Kami minta
kerelaanmu,Gus. Demi persahabatan kita. Please!” katanya memohon dengan
wajah mengiba dan kulihat airmatanya menetes di pipinya.
“Tapi, bagaimana dengan perasaan suamimu, An? Kau tidak apa-apa Dick?” tanyaku sambil menatap wajah mereka bergantian.
Keduanya menggelengkan kepala dan hampir serempak menjawab, “Tidak apa-apa.”
“Aku pernah cerita pada suamiku, bahwa dulu kau pernah punya hati
padaku, tapi kutolak karena tidak mau diganggu urusan cinta,” papar Anna
lagi.
“Ya Gus, Anna sudah ceritakan persahabatan kalian dulu. Aku dengar
darinya, kau bukan orang yang suka jajan dan sejak dulu kau tidak nakal
terhadap perempuan. Kami yakin kau bersih, tidak punya penyakit kelamin.
Makanya kami sepakat menentukan dirimu sebagai ayah dari anak kami,”
tambah suaminya. “Bagaimana Gus, kau setuju? Kau rela? Tolonglah kami
ya!” pintanya mengiba.
Aku tidak menjawab. Hatiku tergetar. Tak menduga ada permintaan gila
semacam ini dari sepasang suami istri yang salah satunya adalah
sahabatku dulu. Namun di hati kecilku timbul keinginan untuk menolong
mereka, meskipun di sisi lain hatiku, merasakan getar-getar cinta lama
yang pernah timbul terhadap Anna.
“Gus, kau mau kan?” tanya Anna sambil berjalan ke arahku.
“Baiklah, asal kalian tidak menyesal dan jangan salahkan jika aku jadi
benar-benar suka pada Anna nanti,” jawabku tanpa berani menatap muka
mereka.
“Tak apa, Gus. Aku tak keberatan berbagi Anna denganmu. Aku tahu kau
dulu tulus mencintai dia, pasti kau takkan menyakiti dia. Sama seperti
aku, tak berniat menyakiti dirinya,” kata Dicky lagi.
Anna lalu duduk di lengan kursi yang kududuki sambil memegang daguku dan
menengadahkan wajahku hingga wajah kami bersentuhan dan dengan lembut
ia mencium kedua kelopak mataku, turun ke hidung, pipi dan akhirnya
bibirku ia kecup lembut. Berbeda dengan ciumannya tadi, aku merasakan
kenyamanan yang luar biasa, sehingga kubalas lembut ciumannya. Aku
hanyut dalam ciuman yang memabukkan. Sekelebat kulihat Dicky mengamati
kami sambil mengelus-elus risleting celananya.
Anna mengajakku duduk ke sofa panjang, tempat Dicky berada. Kini ia
diapit olehku dan suaminya di sebelah kanannya. Kami berdua terus
berciuman. Adegan di video kulirik sekilas, suasana semakin panas sebab
si perempuan Asia sudah disetubuhi oleh dua pria sekaligus, yang satu
berada di bawah tubuhnya dengan penis menancap dalam vaginanya,
sedangkan penis yang satu lagi memasuki analnya. Kedua penis tersebut
masuk keluar secara berirama menambah keras rintihan dan jeritan nikmat
si perempuan. Kami bertiga terpengaruh oleh tayangan demikian, sambil
melihat film tersebut, aku terus menciumi wajah, bibir dan leher Anna,
sementara suaminya sudah membuka gaun Anna, turun hingga sebatas
pinggulnya hingga terpampanglah kini kedua payudaranya yang sintal.
Desahan Anna semakin liar ketika lidahku menggelitiki lehernya yang
jenjang dan suaminya berganti memagut bibirnya. Bibir dan lidahku
semakin turun menuju celah-celah payudaranya. Tangan kiriku meremas
payudara kanannya sambil bibirku melumat puting payudara kirinya. Ia
mengerang semakin kuat, ketika tangan kiriku turun ke pinggulnya dan
mengelus-elus pinggul dan pinggangnya. Ciumanku semakin turun ke
perutnya dan berhenti di pusarnya. Lama menciumi dan menggelitiki
pusarnya, membuatnya makin menggeliat tak menentu. Suaminya kulihat
berdiri dan membuka seluruh pakaiannya. Dicky kini dalam keadaan bugil
dan memberikan penisnya untuk digelomoh Anna. Dengan bernafsu, Anna
mencium kepala penis suaminya, batangnya dan akhirnya memasuk-keluarkan
penis itu ke dalam mulutnya. Tangan kanannya memegang batang penis
suaminya sambil bibir dan lidahnya terus melakukan aksinya. Kulihat
penis suaminya agak panjang, lebih panjang dari punyaku, maklum suaminya
lebih tinggi daripada aku, cocoklah Anna mendapat suami tinggi sebab
tingginya 167 Cm, sama denganku.
Sambil terus memesrai penis suaminya, Anna mengangkat sedikit pantat dan
pinggulnya seakan-akan memberikan kesempatan buatku melepaskan gaunnya
sama sekali. Secara alamiah, kedua tanganku bergerak menurunkan gaunnya
hingga ke lantai, sehingga tubuh Anna hanya tinggal ditutupi selembar
kain segitiga di bagian bawahnya. Tangan kiri Anna bergerak cepat
melepaskan celana dalamnya. Kini ia benar-benar telanjang, sama seperti
suaminya. Anna duduk kembali sambil menelan penis suaminya, hingga
pangkalnya. Ia sudah benar-benar dalam keadaan puncak birahi.
Aku mengambil posisi berlutut di celah-celah paha Anna. Kuamati
sela-sela paha Anna. Vaginanya dihiasi rambut yang tipis, tapi teratur.
Agaknya ia rajin merawat vaginanya, sebab rambut itu dicukur pada bagian
labia, sehingga memperlihatkan belahan yang indah dengan klitoris yang
tak kalah menariknya. Kuarahkan jari-jariku memegang klitorisnya.
“Auuwww, aaahhh, enak Gus … terusin dong ….” Desisnya sambil
menggeliatkan pinggulnya dengan indah.
Aku tidak menjawab, tetapi malah mendekatkan wajahku ke pahanya dan
lidahku kujulurkan ke klitorisnya. “Ooooohhhh, nikmatnyaaaaa …..”
desahnya sambil mempercepat gerakan mulutnya terhadap penis Dicky.
Kuciumi klitorisnya sambil sesekali melakuan gerakan menyedot.
Klitorisnya sudah tegang sebesar biji kacang hijau. Indah sekali
bentuknya, apalagi ketika kukuakkan labianya bagian atas klitorisnya.
Kedua labianya kupegang dengan kedua tanganku dan kubuka lebar-lebar
lalu dengan lembut kujulurkan lidahku menusuk ke dalam vaginanya.
“Aaaaaahhhhhh …. Gusssss …. kau pintar banget!” rintihannya semakin
meninggi. Aku melakukan gerakan mencium, menjilat, menusuk, menyedot
secara bergantian, bahkan tak urung kuisap klitoris dan kedua labianya
secara bergantian, hingga erangan dan rintihannya semakin keras. Cairan
vaginanya mengalir semakin banyak. Kusedot dan kumasukkan ke dalam
mulutku. Gurih rasanya. Kedua tangannya kini memegang belakang kepalaku
dan menekankannya kuat-kuat ke pahanya sambil menggeliat-geliat seksi.
Semakin lama gerakannya semakin kuat dan dengan suatu hentakan dahsyat,
ia menekan dalam-dalam vaginanya ke wajahku. Agaknya ia sudah orgasme.
Kurasakan aliran air menyembur dari dalam vaginanya. Rupa-rupanya cairan
vaginanya bercampur dengan air seninya. Anehnya, aku tidak merasa
jijik, bahkan kuisap seluruhnya dengan buas. Ia menolakkan kepalaku,
mungkin merasa jengah karena kuisap seluruh cairannya, tanpa mau
menyisakan sedikit pun. Aku tidak mengikuti perlakuannya, tapi terus
menekan wajahku menjilati seluruh cairannya yang menetes dan mengalir ke
pahanya.
Aku masih bersimpuh di celah-celah paha Anna, ketika ia mendekatkan
wajahnya mencium bibirku. “Makasih ya Gus, kamu pintar banget bikin aku
puas!”
Kulihat Dicky terpengaruh atas orgasme istrinya, ia berdiri dan berkata, “Ayo sayang, aku belum dapet nih!”
“Aaahh, aku masih capek, tapi ya dech. Aku di bawah ya,” sambutnya
sambil menelentangkan tubuh di sofa panjang tersebut. Suaminya mengambil
posisi di sela-sela paha Anna dan menggesek-gesekkan penisnya ke
klitoris Anna. Anna kembali naik birahi atas perlakuan Dicky. Makin lama
Dicky memasukkan penisnya semakin dalam ke dalam vagina Anna. Anna
membalas dengan membuka lebar-lebar pahanya. Kedua kakinya dipentang dan
dipegang oleh kedua tangan suaminya. Anna lalu mengisyaratkan aku
mendekatinya. Aku jalan mendekati wajahnya. Ia lalu membuka celana
panjangku hingga melorot ke lantai. Celana dalamku pun dibukainya dengan
ganas dan kedua tangannya memegang penisku. Sambil menyentuh penisku,
perlahan-lahan ia dekatkan wajahnya ke arah pahaku dan menjilat kepala
penisku. “Ahhh, ssshhh, Ann …. Nikmatnyaaaa,” desahku sambil membuka
bajuku. Kini kami bertiga benar-benar seperti bayi, telanjang bulat.
Anehnya, aku tidak merasa malu seperti mula-mula. Adegan yang hanya
kulihat dulu di blue film, kini benar-benar kualami dan kupraktekkan
sendiri. Gila! Tapi akal sehatku sudah dikalahkan. Entah oleh rasa suka
pada Anna atau karena hasrat liarku yang terpendam selama ini.
Anna semakin liar bergerak menikmati tusukan penis suaminya sambil
melumat penisku. Kedua tanganku tidak mau tinggal diam dan meremas-remas
kedua payudara Anna dengan putingnya yang semakin mencuat bagaikan
stupa candi.
Bersambung . . . . . . .